06 August 2007

Puasa Di Dalam Kitab Suci

Apakah praktik puasa orang kristiani memiliki akar yang kuat di dalam Kitab Suci? Kitab Suci memberikan pendasaran yang kokoh dan kuat akan praktik puasa orang kristiani karena di dalam Kitab Suci, kita menemukan banyak praktik puasa dengan berbagai motivasi. Ada yang berpuasa sebagai tanda berkabung. Daud berpuasa pada waktu kematian Saul, Yonatan, dan Abner (2Sam. 1:12; 3:31-35) dan Yudit juga berpuasa setelah kematian suaminya (Yud. 8:2-6).

Praktik puasa dan pantang ada pada setiap agama sejak dari zaman dahulu kala hingga zaman modern ini. Beberapa waktu yang lalu kita menyaksikan umat Islam di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa dan menjelang Paskah umat kristiani menjalankan ibadah puasa. Selama masa Prapaskah umat kristiani menjalankan ibadah puasa selama empat puluh hari.

Puasa juga dilakukan sebagai ungkapan pertobatan dari dosa (1Sam. 7:6; Yl. 1:14; Yun. 3:5-9); peringatan akan pembebasan dosa masa lalu (Im. 16:29-34; Za. 8:19); bentuk permohonan ketika mengalami malapetaka dan bencana (Hak. 2:26; 2Taw. 20:3-4; Ezr. 8:21-23); bentuk persiapan untuk berjumpa dengan Allah, seperti ketika Musa berpuasa selama empat puluh hari dan empat puluh malam di Gunung Sinai untuk menerima Hukum Taurat (Kel. 34:28); bentuk persiapan sebelum menerima pewahyuan dan penglihatan. Daniel berpuasa sebelum menerima pewahyuan dan penglihatan (Dan. 10:13).

Berpuasa pada zaman Yesus

Dalam perjanjian lama satu-satunya hari yang ditetapkan untuk berpuasa adalah Yom Kippur, Hari Penebusan (Im. 16:29; 23:27). Tradisi ini mungkin berasal dari zaman sebelum pembuangan. Akan tetapi, orang Yahudi pada zaman Yesus juga sering berpuasa. Dari sejarawan Yahudi, Yosefus, kita mengetahui bahwa orang-orang Eseni menetapkan salah satu hari untuk berpuasa. Selain itu, kita juga mengetahui dari perumpamaan Lukas tentang orang Farisi yang membanggakan dirinya karena berpuasa dua kali seminggu (Luk. 18:12), meski kita tidak diinformasikan hari apa saja mereka berpuasa.

Didakhe, sebuah tulisan kristiani yang muncul sekitar seabad setelah Kristus, menginformasikan bahwa orang Yahudi berpuasa pada hari Minggu dan Kamis dan orang-orang kristiani dinasihati untuk berpuasa pada hari Rabu dan Jumat.

Yesus sendiri juga meneruskan tradisi puasa orang Israel. Ia berpuasa selama empat puluh di padang gurun sebelum memulai karya pelayanan publik-Nya (Mrk. 1:12-15; Mat. 4:1-11; Luk. 4:1-13). Lamanya waktu Yesus berpuasa itu menunjukkan bahwa Yesus meneruskan tradisi puasa orang Israel. Musa berpuasa selama empat puluh hari dan empat puluh malam (Kel. 34:28). Elia juga berpuasa selama empat puluh hari dan empat puluh malam ketika ia berjalan ke Horeb (1Raj. 19:8).

Dikisahkan bahwa setelah pembaptisan di sungai Yordan, Yesus dituntun oleh Roh pergi ke padang gurun. Roh, bagi orang Israel kuno, merupakan sebuah ungkapan akan kekuasaan Allah yang Mahatinggi. Roh mendorong para hakim untuk menyelamatkan Israel dari musuh-musuh (bdk. Hak. 3:10). Roh yang diberikan kepada para raja menguatkan suku-suku untuk menjadi suatu bangsa yang bersatu (bdk. 1Sam. 16:13). Roh mendorong para nabi (bdk. Yes. 6:11) di dalam tugas dan panggilan mereka. Roh yang sama inilah yang menuntun Yesus berpuasa di padang gurun.

Padang gurun bukanlah sebuah tempat yang romantis. Tempat itu penuh dengan bahaya. Selain dihuni oleh binatang-binatang buas, padang gurun juga menjadi tempat perlindungan para bandit dan orang-orang terbuang. Yang lebih penting dari semuanya itu, padang gurun menjadi tempat pencobaan bagi orang-orang Israel (bdk. Bil. 10:11-21:34). Berada di padang gurun berarti orang mengalami suatu pengalaman kehilangan dan kekurangan akan segala sarana yang mendukung kehidupan. Akan tetapi, pengalaman itu mendorong kita untuk percaya pada penyelenggaraan ilahi.

Selama empat puluh hari Yesus bergulat di tempat pencobaan; Ia mempersiapkan diri-Nya untuk pelayanan publik-Nya. Pelayanan publik Yesus itu disampaikan-Nya secara singkat (ay. 14-15). Yesus memberitahukan bahwa waktunya (Yunani: kairos) telah genap, yakni kedatangan Kerajaan Allah yang telah lama dinantikan oleh orang Israel. Pemberitaan itu diikuti dengan sebuah syarat: bertobat dan percaya kepada Injil.

Meski praktik puasa itu sesuatu yang lazim pada zaman Yesus dan Yesus sendiri juga meneruskan tradisi puasa, namun praktik puasa Yesus berbeda dari praktik puasa orang Yahudi pada zamannya. Perbedaan itu ditemukan dalam injil sinoptik (Mrk. 2:18-20; Mat. 9:14-17; Luk. 5:33-39). Ditampilkan bahwa orang banyak bertanya kepada Yesus, “Mengapa murid-murid Yohanes dan orang-orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” Orang banyak bertanya kepada Yesus karena para murid itu mengikuti guru mereka dan ajaran-ajarannya. Murid-murid Yesus yang tidak berpuasa memperlihatkan bahwa Yesus tidak memerintahkan mereka untuk berpuasa dan juga Yesus sendiri tidak berpuasa. Kenyataan ini berbeda dari harapan umum yang berpandangan bahwa orang yang memiliki relasi yang intim dengan Allah diharapkan berpuasa.

Pertanyaan orang banyak itu dijawab oleh Yesus dengan sebuah pertanyaan retoris, “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka?” Perayaan perkawinan mungkin dianggap sebagai suatu peristiwa yang biasa dalam dunia kita, tetapi dari perspektif biblis perayaan itu memiliki makna yang lebih mendalam. Dalam perjanjian Lama, perkawinan merupakan sebuah gambaran standar untuk menjelaskan cinta antara Allah dengan umat Israel (Hos. 2:14-20). Zaman mesianik juga dilambangkan dengan perayaan perkawinan (bdk. Mat. 22:1-14; Yes. 25:6-8). Zaman mesianik adalah saat untuk berpesta, bukan untuk berpuasa.

Pertanyaan retoris itu kemudian dijawab-Nya sendiri. Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa. Akan tetapi, waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa. Di sini Yesus tidak lagi berbicara tentang kebiasaan pesta perkawinan, tetapi menyingkapkan sesuatu yang lebih mendalam. Dia mengacu kepada diri-Nya ketika berbicara tentang mempelai laki-laki, meskipun ini bukanlah gelar yang biasa untuk Mesias. Dia menunjukkan bahwa waktu para murid berpuasa akan datang ketika diri-Nya diambil dari mereka yang mengacu pada kematian-Nya. Pada waktu itulah para murid-Nya akan berpuasa sebagai ungkapan duka cita yang mendalam sama seperti ketika Yudit berpuasa sebagai tanda berkabung ketika suaminya meninggal (Ydt. 8:6).


Praktik Gereja Perdana

Para pengikut Yesus mengadopsi praktik puasa sebagai praktik asketis. Hal ini terungkap secara jelas dalam Mat. 6:16-18. Di dalam perikop itu Yesus digambarkan sebagai orang yang memberi perintah kepada para murid-Nya untuk tidak berpuasa seperti orang-orang munafik. Berbeda dengan orang-orang munafik yang muram mukanya dan mengabaikan penampilan untuk mendapat pujian dan penghormatan dari orang lain, para pengikut Yesus meminyaki kepala dan membersihkan wajah mereka sehingga puasa mereka hanya diketahui oleh Allah. Dengan perintah ini Yesus menyerupai pada nabi Perjanjian Lama. Para nabi mendesak orang Israel supaya di dalam berpuasa mereka tidak hanya memperhatikan hal-hal yang lahiriah, tetapi memperlihatkan pertobatan yang benar (Yes. 58:1-9; Yer. 14:12; Za. 7:5-6).

Gereja Perdana juga melakukan puasa. Komunitas Antiokhia berpuasa dan berdoa sebelum meletakkan tangan ke atas Saulus dan Barnabas (Kis. 13:2-3). Dengan berdoa dan berpuasa mereka berharap dapat mendengar perintah dari surga. Yang berdoa bukan hanya lima nabi dan pengajar tetapi komunitas, karena Gerejalah yang mensahkan keputusan (bdk. 1:15; 6:2,5; 14:27; 15:22). Peletakan tangan itu tidak mengacu pada tahbisan, tetapi pengangkatan seseorang untuk suatu tugas khusus. Melalui peletakan tangan itu komunitas memberkati dan mengkhususkan seseorang untuk karya misi pewartaan. Karena Gereja mengangkat dan mengutus Saulus dan Barnabas, maka mereka disebut “rasul”, utusan resmi yang mewakili Gereja Antiokhia untuk tujuan misi khusus (14:4,14). Demikian juga ketika Paulus dan Barnabas mengangkat para penatua untuk masing-masing gereja, mereka berdoa dan berpuasa (Kis. 14:23).

Dalam Gereja perdana, puasa juga menjadi bagian dari persiapan untuk menerima pembaptisan. Tertulianus mengacu pada kebiasaan umum puasa pada hari Jumat. Menjelang akhir abad ke empat, puasa selama empat puluh hari pada masa Prapaskah dan puasa sebelum menerima komuni telah tersebar luas. Pada abad itu juga Pekan Suci ditambahkan pada kalender Gereja menjadi waktu yang lebih ditekankan untuk berpuasa. Sementara waktu antara Paskah dan Pentakosta, puasa tidak terlalu ditekankan. Pada waktu puasa, kita sebagai pribadi dan sebagai anggota komunitas umat beriman turut merasa lapar bersama dengan orang-orang yang lapar, kaum pinggiran yang serba berkekurangan, sambil membuka diri pada transformasi cinta Allah. Solidaritas itu lebih penting bagi Yesus daripada berpuasa. Karena itu, puasa yang dilakukan oleh Yesus selama empat puluh hari di padang gurun dapat juga dipandang sebagai suatu bentuk tindakan solidaritas dengan orang yang lapar dan yang lemah.


Sumber Bacaan

Downey, Michael (ed), The New Dictionary of Catholic Spirituality. Collegevile : Liturgical Press, 1993, 391-392.
Reid, Barbara,
E., What’s Biblical About…Fasting? Bible Today, 43 (2005), 53-55.
Martin,
George, The Gospel According to Mark: Meaning and Message, Loyola Press, Chicago, 2005

1 comment:

Anonymous said...

Boleh minta file aslinya?

Menurut Anda, apakah kaum awam perlu belajar Kitab Suci melalui kursus-kursus?

Powered By Blogger